Memutus Rantai Gizi Buruk
Gizi.net - Pada 1950, Bapak Gizi Indonesia, Dr Poerwo Soedarmo, membentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR) untuk memperbaiki gizi masyarakat Indonesia. Namun, hingga berselang 59 tahun, kasus malnutrisi atau kekurangan gizi ini masih sering terjadi.
Pemberitaan media
Kekurangan gizi pada masa balita memang akan berpengaruh besar pada kualitas seseorang nantinya. Asupan gizi yang kurang pada dua tahun pertama pertumbuhan, bisa menyebabkan gangguan serius bagi perkembangan otak yang mengakibatkan tingkat kecerdasan si anak terhambat. Padahal, 80 persen pertumbuhan otak terjadi pada masa itu. Belum lagi, hambatan pada pertumbuhan fisik dan sistem kekebalan tubuhnya yang tak sempurna. Bisa dibayangkan jika generasi muda bangsa ini tumbuh dalam keadaan seperti itu.
Hingga pertengahan tahun 2008, jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi masih pada kisaran 4 juta orang. Memang jika dilihat dari kacamata statistik, angka ini persentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan penduduk
Departemen Kesehatan sendiri mengklasifikasikan angka tersebut dalam beberapa kategori.
Menurut Data Depkes, awal Maret 2008, jumlah balita penderita malnutrisi pada 2007 adalah 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori risiko gizi buruk. Sekali lagi, jika dilihat dari kacamata statistik, persentasenya memang tidak besar. Tapi, bisa jadi angka yang tercatat itu hanya fenomena gunung es. Kenyataan sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar.
Di luar masalah keakuratan data, angka-angka tersebut disusun berdasarkan jumlah laporan. Berapa banyak kasus yang tidak terlaporkan. Mungkin karena perbedaan cara menentukan kategori, atau ketidaktahuan masyarakat jika apa yang menimpanya termasuk kasus gizi buruk, dan berapa pula yang tidak terpantau. Belum lagi jika melihat kasus gizi buruk ini sebagai aib yang bisa mengurangi penilaian keberhasilan pembangunan di suatu daerah, tentu datanya akan semakin ditekan sedemikian rupa sehingga tak muncul menjadi kasus yang besar.
Pemicu malnutrisi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus malnutrisi. Dana Anak-Anak PBB atau UNICEF (United Nations Children's Fund) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan, malnutrisi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.
Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat menjadi unsur penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan anak. Pengelolaan lingkungan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi penyebab turunnya tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit.
Meski
Tetapi, kemiskinan bukanlah satu-satunya akar masalah gizi buruk. Tingkat pengetahuan dan pendidikan yang rendah menjadi faktor penting terjadinya kasus gizi buruk. Tak sedikit kasus gizi buruk menimpa keluarga yang sebenarnya mapan secara ekonomi. Penyebabnya, keluarga tersebut tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah gizi dan kesehatan. Ibarat rantai, banyak faktor yang saling berkait menjadi penyebab terjadinya lingkaran gizi buruk yang tidak ada habisnya. Perlu ada upaya untuk memutus mata rantai penyebab gizi buruk ini.
Pelibatan perempuan
Sebenarnya, pemerintah memiliki banyak program untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, terutama bagi balita. Sebut saja program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita dan ibu hamil, penyuluhan kesehatan melalui posyandu, dan lain sebagainya.
Yang baru terlihat adalah upaya sporadis ketika terjadi kasus gizi buruk. Tak hanya petugas kesehatan yang terlibat, aparat pemerintahan, bahkan politikus pun turut ambil bagian. Tapi, untuk upaya pencegahan yang sifatnya kontinu masih terkesan asal jalan.
Mengapa kaum perempuan? Karena dalam budaya dan sistem sosial
Faktanya, masih banyak kaum perempuan yang abai tentang masalah ini, bisa jadi karena ketidaktahuan atau faktor lain. Hasil yang dikeluarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) periode 1997-2003 menunjukkan kenyataan yang mencengangkan. Hanya 14 persen ibu di Tanah Air yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di
Padahal, ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Selain mengandung gizi yang cukup lengkap, mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi, juga sesuai dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi dengan mudah diserap. Jika bayi tak mendapat ASI, akan berdampak buruk pada kesehatan dan pertumbuhannya. Inilah salah satu contoh kesadaran dan pengetahuan mendasar tentang kesehatan yang harus diketahui dan diterapkan kaum perempuan, tentu dengan dorongan dan dukungan sepenuhnya dari suami dan kaum laki-laki.
Jika para ibu dan kaum perempuan paham betul tentang masalah gizi dan kesehatan, tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan keluarga. Ia bisa menyediakan menu makanan dengan gizi yang cukup tanpa harus selalu mengeluarkan uang dalam jumlah banyak. Tidak sedikit bahan makanan yang bisa diperoleh dengan biaya murah, namun memiliki kandungan gizi yang tinggi, termasuk bagaimana memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber makanan dan obat-obatan keluarga.
Pengetahuan dan kebiasaan semacam ini bisa diperoleh kaum perempuan melalui penyuluhan secara intensif, misalnya melalui program posyandu, atau melalui forum lain. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian yang intens untuk program seperti ini. Termasuk memberikan penghargaan kepada para kader kesehatan yang tak pernah lelah menjalankan tugasnya. Selama ini pemerintah terkesan mengesampingkan jasa-jasa mereka yang sebenarnya tidak kecil.
Selain secara informal, pendidikan kesehatan, terutama masalah pemenuhan gizi keluarga, sudah selayaknya diberikan secara formal di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan. Kelangkaan muatan kurikulum tentang masalah gizi dan kesehatan menjadi salah satu penyebab rendahnya pengetahuan gizi dan kesehatan di masyarakat.
Dengan pembangunan pengetahuan dan kesadaran akan gizi dan kesehatan di kalangan kaum perempuan, setidaknya satu mata rantai kasus gizi buruk bisa kita putuskan. Tinggal bagaimana keseriusan pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder negeri ini menjalankan program pemberdayaan perempuan ini sebagai salah satu solusi penuntasan masalah gizi buruk di
Oleh: Zuber Safawi SHI
Anggota Komisi IX DPR RI)
Sumber: http://www.republika.co.id/koran
Sabtu, 14 Maret 2009
Memutus Rantai Gizi Buruk
Sabtu, 14 Maret, 2009 oleh: siswono
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar